Kode Banner/Iklan Anda Di sini !
Kelompok 2
Pancasila
sebagai etika politik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila adalah dasar negara
sekaligus pandangan hidup bagi setiap masyarakat Indonesia tidak peduli
pemerintah atau rakyat jelata sekalipun. Dasar berarti material pembangun
fundamental dimana segala hal atau kebijaksanaan dalam pemerintahan harus
selalu merujuk kepada Pancasila guna menciptakan fundamental yang kuat.
Namun, sayangnya akhir-akhir ini banyak sekali oknum
yang mengabaikan nilai-nilai luhur Pancasila. Maraknya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme merupakan bukti bahwasanya banyak masyarakat Indonesia yang telah
jauh menyimpang dari Pancasila. Tanda tanya besar, mengapa hal seburuk itu bisa
terjadi? Jawabannya adalah disebabkan kurangnya pengetahuan agama sehingga
tidak ada kereligiusan yang seperti terkandung dalam Pancasila. Selain itu,
minimnya pemahaman nilai, norma dan moral semakin menambah kuantitas
penyelewengan nilai-nilai Pancasila. Dalam dunia pemerintahan pun tidak sedikit
dari masyarakat Indonesia yang kurang memahami etika perpolitikan.
Oleh karena itu, pembuatan karya-karya yang menekankan
dalam bidang nilai, norma, moral dan etika politik sangat dibutuhkan. Wujud
dari kepedulian agar masyarakat Indonesia memahami lebih jauh Pancasila yang
merupakan pandangan hidup mereka adalah dengan mengantarkan karya sederhana ini
yang Insya Allah dapat membantu supaya Pancasila senantiasa teraplikasi pada
setiap diri masyarakat Indonesia.
1.2 Tujuan
Pentingnya
penerapan nilai, norma, moral dan etika politik telah membuka mata hati kami
sehingga ambisi yang meletup-letup untuk menyusun sebuah karya pun muncul.
Berawal dari niat sederhana kemudian melahirkan karya sederhana yang semoga
saja dapat membantu saudara-saudara setanah air untuk memahami nilai, norma,
moral dan etika politik sehingga dapat mengaplikasikannya.
BAB II
PEMBAHASAN
PANCASILA
SEBAGAI ETIKA POLITIK
2.1 Pengertian Nilai,
Norma dan Moral
· Pengertian Nilai
Nilai atau “value” termasuk bidang
kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah
satu cabang filsafat nilai (Axiology, Theory of value). Filsafat sering juga
diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai dalam bidang filsafat
dipakai untuk menunjuk benda abstrak yang artinya “Keberhargaan” (worth) atau
kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Franke, 1987:229)[1].
Di dalam Dictionary Of Sosciology and Related Sciences
di kemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok (The believed capacity of any object to statisfy
a human desire). Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas
yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri[2].
Menilai berarti menimbang-nimbang dan membandingkan
sesuatu dengan yang lainnya untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan.
Hasil pertimbangan dan perbandingan itulah yang disebut nilai. Karena ada unsur
pertimbangan dan perbandingan maka objek yang diberi penilaian tersebut tidak
tunggal. Artinya, suatu objek baru dikatakan bernilai tertentu apabila ada
objek serupa sebagai pembandingnya[3].
Objek di sini dapat berupa sesuatu yang bersifat fisik atau psikis, seperti
benda, sikap atau tindakan seseorang.
· Pengertian Norma
Nilai pada dasarnya bersifat subjektif, sehingga nilai
tidak mudah dijadikan panutan prilaku bagi seseorang atau masyarakat. Agar
nilai (Sistem nilai) dapat diangkat kepermukaan, maka perlu ada wujud nilai
yang lebih kongkret. Kongretisasi dari nilai inilah yang disebut sebagai
(menghasilkan) norma. Dapat terjadi bahwa norma tidak hanya mengandung satu
nilai saja, tetapi dapat lebih dari satu nilai. Sekalipun demikian tidak ada
norma yang tidak mengandung nilai[4].
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, norma adalah penjabaran dari nilai
sebagai penuntun perilaku seseorang atau masyarakat.
Pengertian lain dari norma adalah petunjuk tingkah
laku (perilaku) yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai
sanksi[5].
· Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata latin “mores” yang
berarti norma-norma baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, budi pekerti, akhlak ataupun kesusilaan manusia. Di dalam bidang
filsafat, moral mempersoalkan kesusilaan mengenai ajaran-ajaran yang baik dan
buruk. Manusia berkewajiban mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran moral
tersebut, agar di dalam pergaulan dengan sesama manusia dapat terjalin suatu
hubungan yang baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah
(ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Jadi bermoral berarti
mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik[6].
Dapat disimpulkan bahwa moral merupakan ajaran baik
dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Jadi, moral membicarakan
tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar dipandang dari
sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian.
2.2
Hubungan Nilai, Norma, dan Moral
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Dalam kehidupan manusia nilai
dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku
baik disadari maupun tidak.
Nilai
berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi
empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami,
dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak
bersifat kongkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai
dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai
tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut
telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia[7].
Agar
nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih
objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku
secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan
suatu norma.
Selanjutnya,
nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral
mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang
dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita
memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia[8].
2.3
Etika Politik
· Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi
beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing-masing. Cabang-cabang itu
dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat
praktis. Etika termasuk kelompok filsafat praktis. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil
sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno,
1987)[9].
Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada
pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai
“susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika
membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau
bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebijakan yang diwakilkan dengan
kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang
memilikinya dikatakan orang yang tidak bersusila. Sebenarnya etika lebih banyak
bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan
tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika
berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku
manusia[10].
· Pengertian Politik
Pengertian “politik” berasal dari kosa kata “politics”
yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau
negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Berdasarkan pengertian-pengertian
pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut
konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power),
pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), pembagian
(distribution), serta alokasi (allocation) (Budiardjo, 1981: 8,9)[11].
· Etika Politik
Setelah penjelasan kedua poin di atas, maka tibalah
pada intisari penting, yaitu etika politik. Secara substantif pengertian etika
politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni
manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan
moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa
menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam
hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap
meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih
meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada
hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya.
Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa,
maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter.
Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara
moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat
negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan
kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia (Suseno, 1987: 15)[12].
2.4
Hubungan Etika Politik dan Pancasila
Dalam
kaitannya, pancasila merupakan sumber etika politik itu sendiri. Etika politik
menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas
(legitimasi hukum), secaraa demokratis (legimitasi demokratis), berdasarkan
prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut
Penyelenggaraan
negara baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik,
pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral relegius (sila I)
serta moral kemanusiaan (sila II). Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip legalitas. Negara
Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu “keadilan” dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila ke V. Negara adalah berasal
dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa
untuk rakyat (sila VI)[13].
Prinsip-prinsip
dasar etika politik itu telah jelas terkandung dalam Pancasila. Dengan
demikian, Pancasila adalah sumber etika politik yang mesti direalisasikan. Para
pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, pelaksana aparat dan penegak
hukum harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis
juga harus berdasar pada legitimasi moral yang memang pembentukan dari
nilai-nilai serta dikongkretisasi oleh norma.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Nilai
adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir
maupun bathin. Sedangkan norma adalah perwujudan kongkrit dari nilai. Nilai dan
norma, keduanya berkaitan dengan moral dan etika. Moral merupakan baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak;
budi pekerti; susila serta etika ialah pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Etika
politik adalah suatu pemikiran kritis tentang moral yang cakupannya kepada
legitimasi hukum, legitimasi demokratis, dan legitimasi moral. Ketiga
legitimasi ini dimiliki oleh Pancasila dimana Pancasilalah sumber etika politik
itu sendiri.
Kelima
sila masing-masing merupakan prinsip-prinsip etika politik. Masyarakat
Indonesia baik pemerintah ataupun rakyat jelata mesti merealisasikannya. Hal
yang terpenting dan tidak boleh dilupakan dalam merealisasikannya adalah moral.
Tanpa moral maka realisasi kemungkinan akan menyimpang. Oleh karena itu, moral
(legitimasinya) sangat berpengaruh sebab moral di bentuk berdasarkan
nilai-nilai serta dikongkretisasi oleh norma.
3.2
Kritik dan Saran
Dewasa
ini, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai Pancasila yang
terjadi. Salah satunya adalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hampir seluruh
instansi pemerintah menderita penyakit keuangan ini. Bahkan instansi
pemberantasnya sendiri pun tak lepas dari kasus ini.
Tentu
saja, realita seperti ini sangatlah memprihatinkan. Penyebabnya tidak lain
dikarenakan kurangnya kerelegiusan dan kesadaran hukum. Dalam hal ini etika
politik yang bersumber dari Pancasila nyaris dilupakan serta diabaikan. Jikalau
saja etika politik benar-benar tak berbekas lagi di masyarakat, kita tinggal
menunggu saja detik-detik kehancuran Ibu Pertiwi ini. Nau’dzubillah…
Untuk
mengatasi problema di atas, masyarakat Indonesia hendaknya kembali menyadari
nilai-nilai luhur pancasila yang merupakan pandangan hidup dan dasar negara.
Mulai menata kehidupan dengan merujuk Pancasila, mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari. Menyadari arti kehidupan dunia yang memang
sementara dan ingat bahwa ada kehidupan abadi setelahnya serta memahami hak dan
kewajiban yang mesti diambil dan dituntut guna menciptakan akhlak mulia
terhadap setiap individu masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Iqbal, M.M, 2002, Pokok-pokok Materi Pendidikan Pancasila, penerbit PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Budiyono,
Dr. H. Kabul, M.Si, Nilai-nilai Kepribadian dan
Kejuangan Bangsa Indonesia, 2007, penerbit Alfabeta, Bandung.
Drs.
H. Kaelan, M.S, 2000, Pendidikan Pancasila, penerbit
Paradigma, Yogyakarta.
Drs.
H. Kaelan, M.S, 2001, Pendidikan Pancasila, penerbit
Paradigma, Yogyakarta.
Drs.
H. Kaelan, M.S, 2010, Pendidikan Pancasila, penerbit
Paradigma, Yogyakarta.
[1] Budiyono, Dr. H. Kabul, M.Si,
2007, Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, hal 69
[8] Budiyono, Dr. H. Kabul, M.Si,
2007, Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, op.cit, hal 75
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila sebagai
dasar Negara, pedoman dan tolok ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di
Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik
Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etika yang merupakan
kesadaran relational akan tumbuh subur bagi warga masyarakat Indonesia ketika
nilai-nilai Pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etika juga
akan lebih berkembang ketika nilai dan moral Pancasila itu dapat di terapkan
kedalam norma-norma yang di berlakukan di Indonesia .
Pancasila juga sebagai
suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan
sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun
norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai, Oleh
karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan
norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis
melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Nilai-nilai pancasila
kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu
pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan
tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian
yang ke dua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan
sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, Pancasila juga merupakan suatu
cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa
Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri
sebagai asal mula (kausa materialis).
Pancasila bukanlah
merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan
merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik
meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan
lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan
kenegaraan maupun kebangsaan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian etika ,politik dan etika politik?
2. Apa saja
prinsip etika politik?
3.
Apa definisi dimensi politisi manusia?
4.
Nilai-nilai apa yang tergandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik ?
5.
Bagaimana pengertian nilai, norma dan moral?
6. Apa itu
hierarkhi nilai?
7.
Bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral?
.
1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah
ini adalah
1. Untuk
mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai
etika politik.
2. Dapat
mengerti hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai
etika politik.
3. Dapat
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika.
1.4 Batasan
Permasalahan
Pancasila Sebagai
Etika Politik :
- Pancasila berasal
dari kata “panca” yang berarti lima dan “sila” berarti dasar. Jadi Pancasila
merupakan dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945.
- Etika merupakan
suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral.
- Politik merupakan
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti
dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika
Etika termasuk kelompok
filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika
khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-aaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang
membahasas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
terntentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum
mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia,
sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan
berbagai kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika
individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendir dan etika
sosial merupakan kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
bermasyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
2.2 Pengertian Politik
Pengertian politik
berasal dari kata Politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan
penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan
tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan
dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan
penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih.
Untuk pelaksanaan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, yang
menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang
ada. Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu
kekuasaan, dan kewenangan yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang
dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan.
Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan
keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals),
dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai pplitik, lembaga
masyarakat maupun perseorangan.
2.3 Pengertian
Etika Politik
Sebagai salah satu
cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat.
Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika
mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika
khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi,
dan etika pendidikan.dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan
dimensi politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan
norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai
manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap
Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik
dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab.
Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional
objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik
praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis
dapat dijalankan secara obyektif.
Hukum dan kekuasaan
Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata
masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat
yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu
dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip
etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah
adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan
ham menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat
masing-masing dan keadaan sosial.
2.4 Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Pancasila sebagai etika
politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut
pengelompokan Pancasila, karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai
dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern.
1. Pluralisme
Pluralisme adalah
kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai,
toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan
hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan
terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi,
toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan
sekelompok orang.
2. Hak Asasi
Manusia
Jaminan hak-hak asasi
manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-hak asasi
manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak
diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan
martabatnya sebagai manusia. Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik
mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a. Mutlak
karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan
karena pemberian Sang Pencipta .
b. Kontekstual
karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas
di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam
oleh Negara modern.
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna
manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain,
bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut
harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang
sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara
melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan,
solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan.
Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam
kaitan dan keterbatasan masing-masing.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan
rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau sekelompok
ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh
hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak
menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi
demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam
tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat
berjalan baik atas dua dasar yaitu :
1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan
terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan
terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur
harkiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma
moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Moralitas masyarakat mulai
dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh
dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi,
agama-agama tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan
sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial
diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam
masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di semua bidang terhadap
perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Untuk itu tantangan
etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama
ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak
juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3. Korupsi
2.5 Dimensi Politisi
Manusia
A. Manusia
sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham individualisme
yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk
individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama
senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma
sifat kodrat manusia sebagai individu. Kalangan kolektivisme merupakan cikal
bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk
sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar sarana bagi masyarakat. Segala
hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa
dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk
sosial.
Manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan
kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di
karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia
di dalam hidupnya mampu bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat
hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala
keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segala kehidupannya serta
berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat.
Dasar filosofis
sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya
bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat
‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,
bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.
B. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat
kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis mencakup
lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang
memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa
berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn
dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat
politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai
suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan
sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat
sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan
kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan –
tindakannya.
Dimensi politis
manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk
bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek
kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan
moral manusia.
2.6 Nilai-nilai
Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama
‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’
adalah merupakan sumber nilai –nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di
jalankan sesuai dengan:
a) Asas legalitas (
legitimasi hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan
secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan
berdasarkan prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi
moral).
Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut
publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius (
sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara
hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial )
sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan
negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan
atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal
dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa
untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula
kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala
kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat
sebagai pendukung pokok Negara.
2.7 Pengertian Nilai, Norma, dan Moral
2.7.1 Pengertian Nilai
Nilai (value)
adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat
pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang
tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Nilai atau “value”
(bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan tentang
nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai
(Axiology, theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu
tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk
menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath) atau kebaikan
(goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam
menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu
yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan
harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong
dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem
nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan
karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud
kebudayaan sebagai sistem nilai. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan
antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan
nilai politik berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai
adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan menyadarkan manusia
akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong
dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu
sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan
karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai
ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Di dalam Dictionary of
sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu
benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed
capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu
sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan – harapan,
dambaan – dambaan dan keharusan.
2.7.2 Pengertian Norma
Norma adalah petunjuk
tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
motivasi tertentu. Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai
makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan
sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu,
norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma
kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat
dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan
sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan,
dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri.
c.Norma kesopanan,
dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat.
d. Norma hukum,
dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan
oleh alat Negara.
2.7.3 Pengertian Moral
Moral berasal dari
kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran
tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan
manusia. Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku
dalam masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik,
terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral,
filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma
dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
2.8 Pengertian
Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat terhadap
sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi
adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak
sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan
dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan
adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang,
menderita atau tidak enak.
2. Nilai kehidupan
yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni jasmani, kesehatan serta
kesejahteraan umum.
3. Nilai kejiwaan
adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan
murni.
4. Nilai kerohanian
yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Walter G . everet
menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
a) Nilai – nilai ekonomis
b) Nilai – nilai kejasmanian c) Nilai – nilai hiburan d) Nilai – nilai sosial e) Nilai – nilai watak |
f) Nilai – nilai estetis
g) Nilai – nilai intelektual h) Nilai – nilai keagamaan |
Sementara itu,
Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Nilai
material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
2. Nilai vital yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau
kegiatan.
3. Nilai kerokhanian
yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat
tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai kebenaran yaitu
nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b. Nilai
keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c. Nilai kebaikan atau
nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d. Nilai religius yaitu
nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya,
nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau
tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan
kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan
pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai
sistem nilai.
Dari macam – macam
nilai, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu
yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material
atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong
nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya
nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan
harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan,
nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis,
yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan
sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
2.9 Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai,
norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu
mutlak digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara
menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut
di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila
dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan
manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya
dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh
integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh
moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika
kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian,
etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan
pihak yang memberikan ajaran moral.
2.10 Nilai Dasar,
Nilai Instrumental, Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan
deriviasi atau penjabaran maka nilai-nilai dapat di kelompokan menjadi tiga
macam yaitu nilai dasar, nilai intrumental, nilai praksis.
A. Nilai Dasar
Nilai dasar ini
besifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu
misalkan hakikat Tuhan, manusia dengan segala sesuatu lainnya. Demikian juga
hakekat nilai dasar itu dapat juga berlandaskan pada hakikat suatu benda ,
kuantital, kualitas, aksi relasi ruang maupun waktu. Demikianlah sehingga nilai
dasar dapat juga di sebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya di jabarkan
atau di relisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis.
B. Nilai Intrumental
Nilai intrumental yang
merupakan suatu pedoman yang dapat di ukur dan di arahkan. Bilamana nilai
intrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari maka hal ini merupakan suatu nilai norma. Dan nilai intrumental
sendiri juga dapat di katakan bahwa nilai intrumental itu merupakan suatu
eksplistasi dari nilai dasar.
C. Nilai Praksis
Nilai praksis pada
hakekatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai intrumental dalam suatu
kehidupan yang nyata. Artinya oleh karna nilai dasar, nilai intrumental dan
nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujutannya tidak boleh menyimpang
dari sistem tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Etika politik adalah termasuk lingkup etika sosial
manusia yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik.
Pancasila memang tidak boleh dilepaskan dari semua aspek-aspek didalam
penyelenggaraan sebuah negara. Dalam pelaksanaan Negara segala kebijaksanaan,
kekuasaan serta kewenangan harus di kembalikan kepada rakyat sebagai pendukung
pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut
kekuasaan ekskutif, legislatif, yudikatif, konsep pengambilan keputusan,
pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau
dengan lain perkataan harus memiliki legitimasi demokratis.
Pancasila juga
merupakan suatu system filsafat yang pada hakikatnya merupakan nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaraan lainya. Suatu pemikiran filsafat tidak secara
langsung menyajikan norma – norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan
atau aspek praktis melainkan nilai – nilai yang bersifat mendasar. Sehingga
penerapan Pancasila sebagai etika politik wajib dilakasanakan dengan sebaik
mungkin.
3.2 Saran
Saran saya adalah
marilah kita mempelajari Pancasila sebagai etika politik ini dengan
sebaik-baiknya, sehingga benar-benar paham. Karena hal ini menyangkut moralitas
dan kepentingan masyarakat banyak. Dan marilah kita mencoba mempraktekannya
dalam kehidupan berorganisasi dikampus dan dalam kehidupan bermasyarakat.
PENGERTIAN ETIKA POLITIK
Etika Politik terdiri dari dua kata yaitu Etika dan Politik. Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Sedangkan Politik adalah proses pembagian kekuasaan yang melibatkan interaksi antara pemerintah dan/atau masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat untuk kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Jadi etika politik adalah nilai-nilai azas moral yang disepakati bersama baik pemerintah dan/atau masyarakat untuk dijalankan dalam proses pembagian kekuasaan dan pelaksanaan keputusan yamg mengikat untuk kebaikan bersama.
Etika Politik terdiri dari dua kata yaitu Etika dan Politik. Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Sedangkan Politik adalah proses pembagian kekuasaan yang melibatkan interaksi antara pemerintah dan/atau masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat untuk kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Jadi etika politik adalah nilai-nilai azas moral yang disepakati bersama baik pemerintah dan/atau masyarakat untuk dijalankan dalam proses pembagian kekuasaan dan pelaksanaan keputusan yamg mengikat untuk kebaikan bersama.
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK INDONESIA
Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing sila-silanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukarbalikan letak dan susunannya. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila Pancasila.
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang
pencipta seluruh alam. YangMaha Esa berarti Maha Tunggal, tidak ada sekutu
dalam zat-Nya, sifat- Nya dan perbuatan-Nya. Atas keyakinan demikianlah, maka
Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara
memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat
dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali tidak boleh ada sikap dan
perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal ini diatur
dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.
- Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan berasal dari kata manusia,
yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi pikir, rasa, karsa, dan
cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma.
Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban
seseorang. Beradab kata pokoknya adalah adab, sinonim dengan sopan, berbudi
luhur dan susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan, dan bersusila.
Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya dijabarkan dalam batang tubuh
UUD 1945.
- Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu,
artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian bersatunya
bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi satu kebulatan. Sila Persatuan
Indonesia ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, social
budaya, dan hankam. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat,
yang berbunyi, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan
negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat batang tubuh UUD 1945.
- Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam
permusyarawatan/Perwakilan Kata rakyat
yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam satu
wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system demokrasi,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan
tertinggi berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam
melaksanakan tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu, “… maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat …”.
Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.
- Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan social berarti keadilan yang
berlaku dalam masyarakat disegala bidang kehidupan, baik materiil maupun
spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga Negara Indonesia baik yang
tinggal didalam negeri maupun yang di luar negeri. Hakikat keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945,
yaitu “Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam
pasalpasal UUD 1945. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni
dan jernih mutlak dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan
diatas. Yang mana dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan dan dengan
penuh keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tampa pandang bulu.
Nilai-nilai Pancasila tersebut mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang
berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbaghai penyimpangan
seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi
dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika
sampai perselingkuhan di kalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.
Demikian pengertian etika politik versi obrolan politik. Pancasila merupakan nilai-nilai dasar yang sudah dijadikan dasar negara yang pelaksanaannya perlu menjadi perhatian semua pihak yang terkait di dunia politik di Indonesia.
Demikian pengertian etika politik versi obrolan politik. Pancasila merupakan nilai-nilai dasar yang sudah dijadikan dasar negara yang pelaksanaannya perlu menjadi perhatian semua pihak yang terkait di dunia politik di Indonesia.
Kode Banner/Iklan Anda Di sini !
Sign up here with your email